Pada zaman Israel dipimpin oleh imam, hiduplah seorang
imam yang bernama Eli. Imam Eli memiliki dua anak yaitu Hofni dan Pinehas yang
keduanya dikenal sebaik orang-orang dursila (1 Samuel 2: 12). Hal yang menarik
untuk dipelajari dari kisah imam Eli ini adalah kegagalan Eli dalam mengambil
peran selaku imam baik dalam rumah tangga maupun bagi rakyat Israel. Saya yakin
dan percaya bahwa pemilihan Eli sebagai imam telah melalui berbagai persyaratan
seorang imam, yang antara lain sukses dalam membimbing keluarga. Namun dengan adanya
kegagalan yang ia hadapi, adakah rakyat Israel telah salah pilih? Bukan, tetapi
imam Eli ternyata adalah orang yang tidak menerapkan keimamannya dengan benar
didalam keluarga. Ia gagal dalam melakukan fungsi keimaman kepada keluarganya.
Firman Tuhan menggaris bawahi 3 kesalahan Eli yang menyebabkan dia gagal selaku
pemimpin. Yang pertama adalah ambisi yang berlebihan , yang kedua adalah
kegagalan dalam memimpin dan membina keluarga, khususnya anak-anak dan yang
ketiga adalah keserakahan (1 Samuel 2: 29).
Ambisi, Untuk Apa?
Ambisi, Untuk Apa?
Belajar dari kesalahan Eli selaku imam bagi bangsa
Israel pada saat itu, maka kita dapat melihat bahwa kesalahan tersebut telah
memberi dampak hilangnya kuasa, anugerah bahkan penyertaan Tuhan bagi Eli
selaku imam Allah dan juga keluarganya (1 Samuel 2: 30-34). Hal ini yang sering
saya sebutkan dalam berbagai seminar saya yaitu “Efek Echo” atau “Dampak Gema”,
yaitu gema dari dosa atau kesalahan.
Apakah salah untuk memiliki sebuah ambisi dalam hidup
ini? Menurut saya tidak ada yang salah, ambisi dapat diartikan sebagai mimpi,
kerinduan, target pencapaian, usaha untuk mencapai sebuah cita-cita. Namun jika
ambisi tersebut tidak lagi ditempatkan pada tempat yang benar, maka ambisi
tersebut akan berubah menjadi suatu lahan pelampiasan ego seseorang. Ada begitu
banyak ambisi yang muncul dalam kehidupan suami istri. Ada ambisi untuk sebuah
jabatan, ambisi untuk sebuah kedudukan penting, ambisi untuk sebuah kesuksesan
dalam usaha, ambisi untuk mencapai suatu tingkat kepemimpinan tertentu sampai
kepada ambisi yang menyangkut harkat dan martabat seperti ambisi untuk
dihormati, ambisi untuk dihargai, dan lain-lain. Terkadang ambisi yang ada terlalu berlebihan
dan tidaklah heran banyak suami yang dengan egoisme yang tinggi telah menjadi
tekanan bagi istrinya atau anaknya. Dimata dia egoisme tersebut merupakan suatu
pola kepemimpinannya yang terbaik bagi kelurganya. Dia tidak memperhatikan
perasaan istri dan anak, saat ia menyatakan keinginannya atau memaksakan
pendapatnya. Dan dalam menanggapi keegoisan suami biasanya seorang istri hanya
pasrah dan berkata, “terserah kamu saja deh”, biasanya kepasrahan seorang istri
menjadi tanda kemenangan bagi keegoisan seorang suami.
Merasa ada suatu kesempatan yang lebih baik dalam
karir dan pelayanan sebagai seorang pendeta, maka pertengahan tahun 2008 saya
memutuskan untuk pindah ke kota Bandung dan menerima pelayanan sebagai wakil
gembala disebuah gereja. Sungguh sebuah keputusan yang salah fatal oleh karena
keputusan tersebut telah menghilangkan usaha yang telah saya rintis sejak tahun
2006, pelayanan penggembalaan yang baru satu tahun saya rintis disebuah gereja
yang bernuansa pelayanan multicultural dan internasional, menghilangkan
pekerjaan istri sebagai seorang business development manajer disebuah
perusahaan perdagangan saham, dan juga menghilangkan sukacita satu-satunya anak
terkasih yang sedang menikmati masa remaja dan belajar di sebuah sekolah
menengah pertama terbaik di Jakarta. Bagi saya sebagai seorang pelayan Tuhan
hanya melihat bahwa pelayanan di kota Bandung akan memberi suatu kemungkinan
yang lebih baik dari segala sisi. Ironisnya, dengan dalih bahwa pelayanan ini
adalah “suara dan perintah Tuhan” dan “bukan ambisi” (demi menutupi segala rasa
egoisme dan kesombongan), saya memaksa istri dan anak untuk ikut didalamnya. 7
bulan berlalu dari keputusan tersebut dan setelah berhasil memajukan pelayanan
digereja tersebut, saya harus menelan pil pahit yaitu difitnah dan keluar dari
gereja tersebut. Adakah yang salah dengan jalan kehidupan saya? Jawabannya adalah
“YA”. Apa yang salah? Yang salah adalah adanya ambisi yang terlalu berlebihan
terhadap pelayanan sehingga pada akhirnya membuat saya tidak mensyukuri
anugerah pelayanan yang Tuhan berikan dan percayakan bagi saya untuk pelayanan di
Jakarta, membuat saya kehilangan berkat-berkat jasmani yang Allah telah
sediakan sebelumnya bagi saya dan keluarga, membuat sukacita dan kebahagiaan
dalam keluarga saya terengut oleh duka yang berlarut-larut dan rasa penyesalan
yang mendalam serta kepahitan akan pelayanan bagi istri dan anak saya serta
diri saya sendiri. Ambisi untuk mendapatkan yang lebih dalam pelayanan telah
membawa saya masuk dalam kehidupan
kegelapan secara ekonomi dan
kegagalan serta rasa putus asa yang dalam. Ambisi yang berlebihan
tersebut juga telah mengurangi kualitas hubungan dan komunikasi suami istri
dalam keluarga saya. 2 tahun saya merasakan tawar hati dalam pelayanan, hingga
Tuhan kembali memulihkan api semangat pelayanan saya. Melalui peristiwa ini
saya belajar bahwa memang perlu adanya ambisi dalam hidup ini namun hendaklah
ambisi itu hanya untuk mempermuliakan Tuhan (Roma 3: 8-10) bukan untuk
memuaskan nafsu, keinginan dan egoisme semata. Anda perlu memiliki suatu ambisi
namun selebihnya dari itu rasa syukur atas segala yang Allah sediakan bagi
Anda.
Keimaman, Hal Yang Menjadi Langka Saat Ini?
Keimaman, Hal Yang Menjadi Langka Saat Ini?
Kegagalan dalam fungsi selaku imam sering terjadi pada
kehidupan para pria selaku suami. Banyak diantara mereka sesungguhnya tidak
siap untuk memimpin keluarga. Mereka memasuki ranah pernikahan hanya sebatas
dorongan kebutuhan atau kemauan pihak-pihak lain tanpa adanya suatu persiapan
yang matang untuk menjadi seorang pemimpin baru. Itulah yang menyebabkan para
suami pada akhirnya mengalami gagal fungsi keimaman.
Tugas fungsi keimaman dalam keluarga sesungguhnya sederhana yaitu membawa seisi rumah tangga mengalami kehadiran Tuhan, intim dengan Tuhan dan hidup didalam naungan kasih Tuhan. Hal itu dapat dilakukan melalui doa bersama, pujian penyembahan bersama atau membaca firman Tuhan dan merenungkannya bersama. Bahasa rohaninya ialah membangun mezbah Tuhan. Kenapa banyak para suami sulit sekali untuk dapat membangun sebuah mezbah Tuhan didalam keluarganya? (catatan: bahwa hal ini juga banyak dialami oleh para hamba Tuhan yang kelewat sibuk pelayanan dan juga sibuk karir). sejauh yang saya pahami dan dalami baik melalui berbagai konseling dan penyelidikan pustaka, didapati suatu kenyataan bahwa para suami yang demikian adalah mereka yang belum benar-benar "bertobat". Artinya belum menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan Yesus dan belum mau untuk berubah. Tapi, kan banyak para suami yang sudah "terima Yesus", mau ikut pengajaran, mau pelayanan, bahkan mau jadi hamba Tuhan, kok masih dibilang belum benar-benar bertobat? Memang banyak suami yang demikian, nah justru disinilah yang terus menjadi polemik dalam kehidupan keluarga-keluarga Kristen.
Saya akan mencoba membahas hal keimaman ini lebih spesifik lagi dalam artikel saya selanjutnya. Namun yang pasti para suami hendaklah bertobat dan mau untuk berubah karena dengan demikian para suami akan hidup tenang dan dimampukan untuk berdoa dan membawa setiap anggota keluarganya untuk mengalami Kristus setiap hari (1 Petrus 4: 7). Tuhan Yesus memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar